17 March 2012
Sebuah Pilihan
Aku sudah menunggunya 30 menit. Dia belum datang juga. Temanku yang satu ini memang paling parah kalau sudah janjian. Dia yang menentukan jam, dia juga yang selalu telat datang.
Cappucino Ice Blended yang aku pesan tinggal sisa setengah. Suasana homey disini cukup membuatku nyaman. Kedai dengan konsep jadul ini unik banget, kursi yang nggak matching dengan mejanya, mainan bajaj jadul, meja dengan kaleng rombeng, mesin pop corn jadul ala pasar malam dan lampu dari tudung saji. Bahkan tadi aku hampir saja merobek buku menu saking rapuhnya.
Aku mengotak-atik Blackberry di tanganku. Tidak ada bbm, hanya mengescroll lini masa dari atas ke bawah. Tidak membacanya benar-benar, pikiranku kemana-mana.
"Eh, udah lama ya?" Temanku datang dengan santainya, menepuk pundakku dari belakang. Untung aku gak jantungan.
"Menurut lo aja, nyet. Janjian jam berapa, dateng jam berapa. Traktir gue ye ntar sebagai ongkos nunggu"
"Macem taksi panggilan aja lo pake ada ongkos nunggu segala hahaha"
Namanya Dara, cewek yang aku kenal dari SMA ini memang salah satu sahabatku yang cukup cuek. Mantan pemain basket andalan satu sekolah. Dulu dia tomboy, tapi penampilannya berubah sejak kuliah dan pacaran dengan cowok yang beda tiga tahun lebih tua darinya. Kebetulan pacarnya itu sedang melanjutkan kuliahnya di Belanda. Jadi bisa dibilang Dara menjalani hubungan LDR (long distance relationship) sudah satu tahun belakangan ini.
"Kei, gue mau curhat."
"Kenapa?"
Dara menyesap lemon tea hangatnya.
"Gue mau cerita, cuma sama lo aja. Gue gak tau mau cerita sama siapa lagi. Gue cuma percaya sama lo. Tapi lo gak boleh judge gue sebelum gue selesai ya."
"Masih kaku aja sih Dar, tenang aja kali. Gue udah pernah merasakan semua posisi. Santai. Cuma belom pernah posisi 69 aja sih hahahaha"
Tawa Dara meledak. "Sakit jiwa emang lo, Kei"
"Gue akhir-akhir ini lagi flat banget sama Andreas. Gue punya pacar tapi gak real ya kan. Apa-apa sendiri, nonton bioskop sendiri. Gue udah terbiasa kemana-mana sendiri. Status doang gue punya pacar, tapi kayak gak punya. Gue lagi butuh orang untuk nyemangatin skripsi gue, secara langsung, bukan cuma kata-kata 'semangat sayang' dari jauh aja."
"Lo masih mending deh Dar kayaknya, daripada gue gak ada yang ngasih semangat sama sekali"
"Hahaha iya juga ya, kasian juga jadi lo Kei. Eh Kei tapi masalahnya sekarang adalah gue lagi deket sama temen kantor gue di tempat magang. Dia beda lima tahun sama gue. Gue enjoy banget sama dia, ketawa-ketawa terus"
"Oh yauda terusin aja, temen kan?" Kataku dengan alis terangkat dan menyunggingkan sebelah senyum, menggoda Dara. Aku yakin cowok itu bukan sekedar teman biasa kalau dia datang-datang kesini langsung curhat masalah itu.
"Iya temen have fun doang, Kei. Tapi masalahnya adalah dia udah punya CALON ISTRI"
"Hah? Lo gila." Aku hampir tersedak minumanku.
Dara bukan tipe cewek player. Aku tau perjalanan cintanya dari semenjak SMA sampai kuliah sekarang. Dia tidak pernah macam-macam. Bahkan sekedar jalan dengan teman cowok lainpun tidak pernah dilakukannya. Aku rasa dia cinta mati sama pacarnya, Andreas.
"Iya Kei, bahkan minggu lalu gue nemenin dia nyari gedung buat nikahannya, nemenin dia ke percetakan untuk nyetak undangan, bahkan liat-liat cincin kawin dan nyobain cincin buat calon istrinya di jari gue. Udah kayak gue aja yang jadi calon istrinya."
Ada jeda yang cukup panjang beberapa detik setelah itu. Aku diam, bingung ingin berkomentar apa. Lalu Dara melanjutkan ceritanya.
"Dia tau gue punya pacar. Gue juga tau dia punya calon istri, walaupun pacar kita sama-sama jauh. Dia bakal nikah 6 bulan lagi, Kei. Gue tau ko gue bakal pergi dari kehidupannya dan gue bakal nikah sama Andreas nanti. Dia bakal balik ke Jakarta dan ngelamar gue setelah gue wisuda Kei."
"Tapi 6 bulan masih lama loh Dar, lo yakin? Kalau lo udah terlanjur sayang ntar susah ngelepasnya. Lagian kalau udah calon istri gitu hubungannya udah antara 2 keluarga besar. Susah Dar, kasian elonya nanti."
"Kei, please jangan judge gue. Gue tau ko posisi gue. Waktu, keadaan dan kondisi yang memunculkan ini semua."
Dara tetap bersikeras bahwa dia hanya sekedar teman have fun dengan calon suami orang itu. Memang susah memberikan nasihat sama orang yang lagi jatuh cinta, sama susahnya saat nyuruh orang yang baru putus cinta untuk move on.
Aku yakin Dara tau kalau dia sedang jatuh cinta, dia hanya tidak mau mengakuinya di hadapanku atau bahkan pada dirinya sendiri pun ia menyangkal hal itu.
Kita memang tidak punya kekuasaan dengan siapa kita akan jatuh cinta, tapi kita selalu punya pilihan apakah kita akan meneruskan menjalin hubungan tersebut atau tidak. Apakah kita akan memilih ego demi kebahagiaan kita sendiri ataukah memilih hati nurani dan tidak menyakiti hati orang lain.
Aku akan mengingatkan Dara lagi nanti, bahwa hati yang disakiti adalah hati milik seorang wanita yang sama seperti dirinya. Bagaimana posisinya bila dia menjadi calon istri teman have funnya itu?
Tentu hubungan milik wanita itu, sebagai seorang calon pendamping hidup lebih berharga dibandingkan dengan hubungan Dara dengan calon suami orang lain yang hanya sebagai teman have fun.
Lagipula untuk apa merendahkan harga diri sebagai wanita perusak (calon) rumah tangga orang lain, sementara di lain sisi dia merupakan wanita terhormat yang memiliki calon pendamping yang baik dan menyayangi dia apa adanya?
Apa yang dia cari?
Semoga aku tidak terlambat nanti.
Semoga semuanya kembali ke tempat yang seharusnya dan semua orang berbahagia.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment