18 March 2012

2 Kota, 2 Cerita.

Cerita 1
Apabila yang satu membangun
dan yang lain merombak,
apa gerangan hasil mereka
kecuali jerih payah?



Bali

Ombak memukul lembut pinggiran pantai, lalu meninggalkan gumpalan pasir basah. Rasya berjalan meninggalkan jejak-jejak pendek di atas pasir basah. Lalu berhenti saat matahari mulai memerah dan menyusup ke kaki langit barat.

"Mau makan malam di hotel atau ke restoran? Kebetulan aku mau ke luar." Tiara muncul tiba di belakang Rasya.
"Ah kamu membuatku kaget."

Bila melihat sekilas, tidak sulit bagi Rasya untuk dapat menyukai perempuan itu. Berkulit putih mulus, berambut panjang dan berwajah oriental. Tutur katanya halus dan sopan. Tak sedikitpun memberi kesan jelek pada perempuan itu.

"Makanya, kalau matahari sudah terbenam jangan berdiri di pantai lagi," Katanya lembut.
"Memangnya kenapa? Aku cinta laut. Tak peduli jam berapapun itu, laut selalu terlihat cantik buatku."
"Aku rasa kamu terlanjur jatuh cinta pada pulau ini, Rasya"

Rasya mengangguk.
"Bagaimana? Mau ikut aku ke restoran di Kuta atau mau makan di hotel saja?"
"Aku ikut"

Tiara menarik tangan Rasya yang sepertinya masih berat hati meninggalkan pantai itu. Dia masih ingin merasakan hempasan ombak mencuci pasir-pasir yang menempel di kedua kakinya. Dia masih ingin menikmati keindahan pantai. Pikirannya masih berselancar mengikuti arus ombak pantai.

Lalu Rasya teringat lagi tujuan utamanya ke Bali. Dengan patuh, dia mengikuti Tiara menuju parkiran.

Sepanjang perjalanan, Tiara banyak bercerita tentang dirinya. Rasya hanya diam memperhatikan, sesekali ikut tertawa menanggapi celotehan Tiara.

Tiara tau, laki-laki di depannya tidak benar-benar mendengarkannya. Tapi dia tidak peduli, dia terus mengajak Rasya mengobrol, menghilangkan kecanggungan di antara mereka berdua.

Mengawali makan malam, pelayan datang menghampiri mereka dengan membawa minuman. Satu gelas sloki dengan isi cairan bening kekuningan dan satu gelas cocktail tinggi kecil yang berisi cairan berwarna merah pekat. Dari aromanya sangat terasa bahwa minuman ini mengandung alkohol.

"I'm just gonna get myself so drunk and wasted so I won't remember anything about her." Kata Rasya dalam hati.

Biasanya, orang meminum satu sampai tiga sloki untuk menghangatkan badan. Namun kali ini, Rasya meminum empat sloki.

"Tequila floor!" Bisik Rasya kepada Tiara.

Floor, bukan four, karena bila minum empat sloki atau lebih maka bisa mabuk dan ambruk ke lantai, oleh karena itu dinamakan tequila floor.

Rasya yang sudah mulai mabuk, semakin mendekatkan tubuhnya ke arah Tiara. Merangkul pinggang Tiara dan menariknya mendekat. "I love you, would you be mine?"


Tiara masih sadar. Sekelebat bayangan kekasihnya di Jakarta terlintas di pikirannya. Namun, pesona laki-laki yang sedang memeluknya saat ini tidak dapat ia hindari.
"Kiss me." Tiara butuh bukti untuk meyakinkan dirinya sendiri. Dia kaget sendiri dengan kalimat yang keluar dari bibirnya. Tapi masa bodoh, Tiara hanya ingin meyakinkan perasaannya, tak peduli akibat apa yang timbul kelak.

Cerita 2

Jangan menyerahkan diri
kepada kesedihan,
dan jangan pula menyiksa dirimu
dengan disengaja.



Bandung

Udara dingin Bandung membuat Denise sedikit mengigigil. Erdas meminjamkan jaketnya kepada Denise yang hanya memakai blouse tipis. Angin kota Bandung di malam hari memang sangat menusuk. Apalagi kali ini Erdas mengajak Denise ke daerah Dago Pakar, perbukitan di Bandung. Dari atas sana pemandangan kota Bandung malam hari sangat romantis. Erdas tau, Denise suka dengan citylight apalagi jika ditambah secangkir cappucinno untuk menghangatkan tubuh.

"Masih dingin gak? Perlu gue yang menghangatkan?" 

Denise tersenyum dan menggeleng. "Udah nggak ko, El. Makasih ya"

Denise memanggil Erdas dengan sebutan El, karena Denise memang sedikit cadel dan panggilan El untuk Erdas cukup nyaman untuknya. 

"Anjir manis banget senyumnya, gak kuat gue" Kata Erdas dalam hati. Susah payah Erdas mengatur nafasnya yang naik turun karena gugup tidak karuan. Dia menyukai gadis berkulit cokelat dan berambut ikal panjang ini sejak setahun lalu. Erdas tidak habis pikir bagaimana mungkin mantan pacarnya Denise, si Rasya brengsek itu bisa setega itu menyia-nyiakan Denise. Dia malah flirting kanan kiri sama cewek-cewek lain di luar sana. Menurut Ersad, Rasya tidak pantas untuk Denise. Cewek sebaik dan selembut Denise tidak pantas diperlakukan seperti itu.

Erdas memanggil pelayan dan memesan satu gelas hot caramel cappucinno untuk Denise dan satu gelas lagi hot hazelnut chocolate. Erdas tidak menyukai kopi, tapi dia sangat menggandrungi cokelat panas, menurutnya "coffee is so mainstream, dude"

"Makasih ya El udah mau nyempetin waktu lo nyamperin gue ke Bandung. Gimana perjalanan Semarang-Bandung tadi malam?" Denise membuka percakapan.

"Buat elo, apa sih yang gak gue kasih. Lo mau apa? Bilang aja sama gue. Lo ke London juga bakal gue samperin ko, apalagi cuma Bandung, keciilll"

Denise tertawa. Erdas selalu bisa menjawab dengan jawaban gombalnya yang lucu. Sangat menyenangkan. 

"Seandainya aja Rasya yang ngomong begitu" batin Denise.

"Gue serius Nis, gue sama sekali gak bercanda. Kenapa elo malah ketawa sih." Erdas meringis dalam hati.


Denise selalu lari ke Erdas saat ia sedih dan sakit hati karena ulah mantan pacarnya, Rasya, dan secepat cahaya juga Erdas akan datang menemui Denise, menawarkan bahunya, mengusap-usap kepala Denise dan berkata "Everything is gonna be alright, Nis. Ada gue di sini, lo tenang aja yah"

Erdas menyalakan rokok Marlboro merahnya untuk mengatasi kecanggungan. Asapnya mengepul di depan wajah Denise. Denise yang biasanya protes karena dia bakal batuk-batuk kalau menghirup asap rokok, kali ini lebih banyak diam. Dia hanya menyapu pandangan ke sekeliling, di meja dekat balkon ada sepasang kekasih yang sepertinya sedang merayakan hari jadi mereka. Denise hanya tersenyum, dari sorot matanya terlihat dia seperti sedang mengenang sesuatu.

Keheningan beberapa saat itu dipecahkan Erdas, "Nis, diam aja sih. Lama-lama kutuk gue aja jadi patung daripada gue di sebelah lo gini tapi lo-nya diem aja. Biasanya lo bawel, Nis. Ooh, gue tau nih kayaknya lo laper ya? Mau pesen apa? Nih pilih-pilih deh"

"Hahaha lo tau aja sih gue laper, El. Pesen spagetti bolognaise deh gue"

Kasihan banget si Erdas ini sebenarnya, dari tadi dia pasti bingung kenapa aku tidak menghiraukannya. 

"But if you're the best friend that I know you are, El, you'll understand that I just need my solitary moment right now."

"Lo bisa cerita sama gue Nis, kalau lo mau. Gue siap mendengarkan. Muka lo jelek tau gak manyun terus gitu. Senyum dong. Gimana mau ada yang naksir kalau mukanya cemberut gitu terus hehehe"

"Dia lagi ngapain ya El di Bali sana? Terakhir dia balik dari Bali, semuanya jadi berubah."

"Paling dia lagi have fun, flirting sama cewek-cewek di sana Nis. Ngapain sih lo masih mikirin dia aja?"

"Hahaha gak apa-apa El, gue cuma kepikiran aja sih. Pasti lo bosen ya dengerin cerita gue tentang dia? Maaf ya. Lo sendiri gimana? Deket sama siapa sekarang? Ceritaaaa dong.."

Ersad menyeruput cokelat hangatnya, menyalakan lagi batang rokok keduanya, menghisapnya dan menghembuskannya keras. Seperti ingin mengeluarkan sesuatu yang selama ini menghimpit dadanya. Perasaan itu. Perasaan yang tidak sanggup ia utarakan langsung kepada gadis di sebelahnya ini.

"Gue lagi deket sama lo sekarang, ini gue duduk sebelah lo. Gak ada siapa-siapa lagi, selain kita berdua di sini kan."

Denise mendorong pelan lengan Ersad sambil tertawa.

"Iiihh elo mah emang seneng banget deh sok-sok misterius kalau ditanya masalah cewek. Emang lo gak mau punya pacar lagi, El? Biar ada yang bisa ngurusin lo, ngingetin makan, ngingetin jangan ngerokok banyak-banyak, jangan sering-sering minum. Liver lo tuh udah diforsir banget kerjanya, tapi gak pernah dijaga"

Ersad kenal Denise sejak SMA. Di mata Ersad, Denise tidak banyak berubah : sedikit pendiam tapi ramah dan cepat akrab dengan semua orang, perempuan banget, dan selalu terlihat care pada semua orang.

"Gue mau lo yang ngurusin gue, ngingetin gue makan, ngingetin jangan ngerokok banyak-banyak, jangan sering minum. Gue mau lo yang jadi pacar gue, Nis.."

Ersad mengatakan hal itu dengan cepat namun berirama, dalam satu tarikan nafas. Dia menatap lekat-lekat bola mata Denise yang membesar saat Ersad selesai mengucapkan kata-kata itu. 

Denise diam. 

Lalu selang dua detik berikutnya, ia membuang pandangannya dari Ersad.

0 comments:

Post a Comment